Laman

Jumat, 17 Juni 2016

SELAGI MASIH ADA WAKTU

Dulu saya menyangka bahwa setelah pensiun saya akan memiliki banyak waktu. Saya berangan-angan bahwa hari-hari panjang yang saya lalui akan saya habiskan di rumah bersama keluarga, atau berlama-lama di dalam masjid meningkatkan kualitas ibadah yang selama ini sering terabaikan. Saya akan banyak beramal saleh, dan dapat berinteraksi dengan masyarakat. Itu angan-angan sebelum saya memasuki masa pensiun. Namun, apa yang terjadi kemudian?
Ketika bincang-bincang dengan senior yang sudah lebih dulu pensiun, angan-angan yang saya sampaikan tersebut menjadi bahan tertawaan. Katanya, meningkatkan kualitas ibadah dan banyak beramal saleh itu tindakan yang bagus dan mulia, tetapi lebih baik jangan menunggu setelah pensiun. Meningkatkan kualitas ibadah sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Kalau harus menunggu setelah pensiun, timbangan amalnya hanya sedikit. Jangan-jangan malah tidak cukup untuk bekal menuju akhirat. Kita tidak akan dapat menuai jika tidak menabur, tidak akan dapat memanen jika tidak menanam benihnya. Tidak akan pula mencapai cita-cita, jika kita tidak memiliki impian dan menyakininya.
Bicara masalah waktu dalam dimensi spiritual, banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menyatakan bahwa Allah sering bersumpah dengan waktu. Misalnya, demi waktu, demi fajar, demi masa, demi matahari dan cayahanya di pagi hari, demi malam apabila telah sunyi, demi malam apabila menutupi cahaya siang, maka sungguh Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja. 
Rasanya, Allah tidak akan bersumpah dengan sesuatu, kecuali jika sesuatu itu sangat berharga. Seakan ada pesan tersirat dalam sumpah Allah, bahwa kekayaan termahal yang kita miliki adalah waktu. Allah menyuruh umat manusia untuk memerhatikan dengan apa Allah bersumpah, yaitu dengan waktu. 
Bahkan semua ritual yang berhubungan dengan Allah seperti puasa Ramadan yang sedang kita jalani, shalat, zakat, dan ibadah haji, masing-masing telah ditentukan waktunya. Apabila keluar dari koridor waktu yang ditetapkan, maka nilai ibadahnya menjadi hilang, sia-sia, dan tidak lagi memiliki makna. Karena itu, siapa yang tidak memahami betapa berharganya waktu, tidak akan mungkin bisa menjadi umat yang maju.
Ada hal mendasar yang tidak boleh kita abaikan, menyangkut masalah waktu dalam dimensi spiritual: 
• Pertama, ketika manusia benar-benar dalam kondisi taat menjalankan perintah agama. 
• Kedua, saat manusia ingkar kepada Allah. 
• Ketiga, saat manusia bisa merasakan nikmat yang diberikan Allah. 
• Keempat, adalah waktu ketika manusia mendapat musibah.
Allah telah memberikan petunjuk, bagaimana cara manusia menggunakan waktu dalam menyikapi setiap episode kehidupan. Ketika kita dalam kondisi taat kepada Allah, tingkatkan terus kualitas ibadahnya. Ketika kita sempat terjerumus pada tindakan maksiat, cepatlah ber-istighfar memohon ampunan, dan segera bertaubat. Ketika kita sedang mendapatkan nikmat dari Allah, banyak-banyaklah bersyukur. Dan ketika kita mendapat musibah, bersabarlah dan segera introspeksi diri, berikhtiar mencari solusi. Yakinlah bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan.
Namun di tengah kesibukan, terkadang kita lupa menyisihkan waktu untuk berpikir tentang arti sebuah kehidupan yang tengah kita jalani, dan ke arah mana kita akan menuju. Padahal dengan sedikit waktu untuk merenung, mungkin banyak perubahan yang akan dapat kita raih. Merenung, berarti sejenak kita berpikir secara mendalam, untuk menjernihkan hati dan pikiran. Dengan merenung, kita dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang pernah kita lalui, merefleksi, introspeksi, dan evaluasi diri, kemudian membuat keputusan, atau berpikir lain dalam konteks yang lebih positif.
Lalu, masalah apa saja yang perlu untuk kita evaluasi? Kita awali saja dengan mengevaluasi diri terhadap kondisi ibadah kita. Sudah berapa kali Anda melaksanakan ibadah Ramadan? Adakah kesan mendalam yang dapat mengubah paradigma berpikir Anda, sehingga ketakwaan kepada Allah Swt. semakin meningkat?
Rasanya akan menyesal kalau ibadah Ramadan yang sudah dijalaninya setiap tahun hanya diperlakukan seperti hari-hari biasa tanpa ada peningkatan kualitas. Padahal, ampunan Allah di bulan Ramadan, lebih dahsyat dari dosa yang pernah kita perbuat. Anda bisa bertanya kepada jiwa Anda yang sangat jujur, apakah Anda termasuk orang yang pernah mendapatkan Lailatul Qadr? Kalau orang lain bisa mendapatkannya, Anda juga harus yakin bahwa Anda pun bisa.
Memang, ada saat-saat tertentu semangat ibadah kita semakin menggelora. Saat-saat seakan tak mau keluar dari masjid, dan tak mau berhenti melantunkan ayat-ayat Tuhan. Saat-saat wirid terasa sangat nikmat, dan saat-saat men-tadaburi Al-Qur’an tak mau berhenti. Saat-saat tahajud tanpa mengantuk sedikitpun. Itulah syirrah, puncak semangat dalam beribadah.
Sahabatku,
Syirrah itu tak selamanya datang. Pada saat yang demikian, puaskanlah diri Anda dengan amal ibadah yang sangat nikmat tersebut, tanpa meninggalkan kewajiban duniawi yang lain. Di bulan Ramadan inilah saat yang tepat untuk merefleksi dan mengevaluasi diri. Dengan merefleksi dan mengevaluasi diri, kita akan tersenyum melihat catatan kehidupan di masa lalu. Sesekali, pejamkan mata Anda, karena ketika mata terpejam, sesungguhnya hati Anda melihat. Bagaikan melihat album kenangan, ternyata banyak kekonyolan yang pernah kita lakukan. Mohonlah ampunan. 
Orang beriman tentu akan takut berbuat dosa. Imam Ali berkata: “Jangan kau lihat kecilnya dosa yang kau lakukan, tapi renungkan … sesungguhnya perintah siapa yang kau tentang.”
Semoga, ibadah Ramadan yang tengah kita jalani ini dapat dijadikan momentum bagi pembaruan tekad. Bukan hanya berani ber amar-ma’ruf, tetapi juga harus berani ber nahi-munkar. 
Itulah esensi dan hikmah yang bisa kita dapatkan kalau kita mau merefleksi diri dengan melakukan tafakur (introspection) dan tadabur (extropection) atau perenungan secara lebih mendalam, dilanjutkan dengan tasyakur. Allah akan memberi kehidupan yang lebih baik apabila kita benar-benar menghendakinya.
Hamparan cahaya kebajikan yang penuh berkah telah dibentangkan Allah untuk diraih hamba-Nya yang beriman. Betapa indahnya hidup dalam naungan Al-Qur’an. Akhirnya, di manapun kita berada, jiwa yang tenang dan bahagia akan terus menyertai hidup kita. Sebuah kebahagiaan tanpa syarat, bagaikan mentari menyinari bumi tanpa berharap. Karena itu, selagi masih ada waktu, lakukan sesuatu dan berikan yang terbaik buat orang-orang yang kita cintai.
Bandung, 09 Juni 2016
Wassalam
Muchtar A.F

*) Disarikan dari buku: 
Jangan Terlena di Zona Nyaman
Penulis: Muchtar A.F
Penerbit: Yrama Widya, Bandung
dan buku:
Marhaban Ya Ramadan
Penulis: Muchtar A.F
Penerbit: Nuansa Aulia, Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar