Laman

Jumat, 17 Juni 2016

HATI-HATI DENGAN PENYAKIT HATI

Kita meyakini, bahwa Ramadan adalah bulan yang penuh berkah, bulan pengampunan atas segala dosa yang pernah kita lakukan. Bulan yang sering kita jadikan momentum untuk mendalami arti kehidupan yang bermakna, mengandung edukasi paling efektif bagi diri seseorang untuk melatih kesabaran, kejujuran, dan kedisiplinan. Kalimat laallakum tattakun dalam (QS.Al-Baqarah [2]:183), tidak berarti bahwa secara otomatis puasa yang sedang kita jalani akan menjadikan pelakunya bertakwa, karena masih banyak syarat lain yang harus dipenuhi. Jika demikian, strategi apa yang harus kita lakukan untuk mengantisipasi gagalnya Ramadan?

Menggapai derajat takwa, ternyata tidak semudah orang membalikkan tangan. Dituntut untuk bisa menunaikannya dengan benar dan penuh kesungguhan, sehingga tidak sampai terancam oleh peringatan Rasulullah yang menyatakan: “Alangkah banyaknya orang yang melakukan ibadah shaum, mereka tidak memperoleh apa-apa dari shaumnya kecuali hanya rasa lapar dan dahaga.” (HR.Ahmad dan Hakim). Mengantisipasi gagalnya ibadah Ramadan yang sedang kita jalani, rasanya kita perlu mengambil hikmah dari peringatan Rasulullah tersebut, terutama yang diakibatkan oleh bisikan setan, musuh bebuyutannya manusia sejak generasi pertama manusia diciptakan. Ingat bahwa setan tidak akan tinggal diam menyaksikan kita membulatkan tekad untuk menjadi orang yang bertakwa.
Di sekitar kita ternyata banyak sekali setan yang kedatangannya tidak dapat dihindarkan dan senantiasa membisikkan ke dalam hati sanubari agar kita tunduk dan patuh mengikuti perintahnya. Itu yang harus kita sadari. Bagaimana cara setan menggoda manusia? Awalnya, manusia terperangkap oleh bisikan setan dengan perasaan ragu, setengah percaya, percaya tidak percaya dan akhirnya percaya sepenuhnya. Setan dari golongan jin maupun setan dari golongan manusia senantiasa berupaya keras untuk menggoda hati manusia dengan cara yang sangat halus, terlihat seolah-olah apa yang dilakukannya mengajak kepada kebenaran, padahal sesungguhnya kedua golongan setan tersebut sangat licik, membuat manusia bisa tergelincir ke dalam jurang kehinaan. 
Ada empat elemen dasar manusia yaitu badan, pikiran, hati dan jiwa. Hati (qalbu) adalah cermin kepribadian yang akan memperlihatkan diri kita apa adanya. Jika hatinya sehat, maka akan baik perilakunya. Tetapi jika hatinya sakit, maka akan buruk amalannya. Penyakit hati sering diidentikkan dengan beberapa sifat buruk atau tingkah laku tercela (al-akhlaq al-mazmumah), seperti sombong, iri hati, dengki, riya’, ujub (bangga diri), emosional, suka marah dan arogan. Sifat buruk lainnya adalah dzalim, bakhil (kikir), galau, ragu-ragu, malas, bohong, khianat, curang, buruk sangka, senang berkeluh kesah, panjang angan-angan, dsb. Seringkali orang yang hatinya berpenyakit, tidak merasa bahwa dirinya sakit, bahkan ia menganggap dirinya normal, merasa lebih baik, lebih hebat, dan lebih penting dari yang lain. 
Orang yang hatinya terserang penyakit sombong dan riya’ saja, akan mendapat hukuman berat dari Allah, apalagi bagi orang yang masih senang memelihara rasa kecewa dan sakit hati. Sombong adalah salah satu penyakit hati yang dibenci Allah, sesuai dengan firman-Nya: “Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong.” (QS. Al Mu’min [40]:76); 
Riya’ adalah orang yang beribadah atau berbuat kebaikan dengan maksud pamer kepada orang lain, agar orang mengira dan memujinya sebagai orang yang baik hati, atau rajin berbuat kebajikan. “Riya’ membuat amal sia-sia sebagaimana perbuatan syirik”. (HR. Ar-Rabii’); “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang berbuat karena riya’ ” (QS. Al Maa’uun [107]:4-6).
Seberat apapun sakitnya badan, seperti terkena stroke atau serangan jantung, itu hanya teguran dari Allah yang paling ringan. Kalau Allah menghendaki badan kita sakit, maka tidak ada seorangpun yang bisa menolaknya, sekalipun seribu dokter mengobatinya. Sebaliknya, jika Allah menghendaki kesembuhan, juga tidak ada seorangpun yang bisa menghalanginya. Apa yang terjadi adalah atas qadha’ dan qadar-Nya, sesuai dengan firman-Nya bahwa jika manusia sakit, Allah-lah yang akan menyembuhkannya. (QS.Asy-Syu’araa [26]:80). Jadi, sakitnya badan adalah takdir dari Allah Azza wa Jalla. Apa yang dijalani manusia, sudah tertera dalam suratan-Nya. Manusia hanya bisa berusaha, berikhtiar, dan berencana, Allah jualah yang menentukan segalanya. Sakitnya badan dapat menjadi alat untuk mengukur kadar keimanan seseorang agar selalu ingat kepada Tuhan dan menjadi sarana untuk membersihkan jiwanya. 
Ketika jiwanya bersih, martabatnya diangkat dan dimuliakan. Pahalanya pun berlimpah. Orang yang tidak pernah sakit, ia cenderung takabur dan sombong. Karena itu, sakitnya badan tidak dituntut pertanggung-jawaban di akhirat, bahkan dihitung sebagai “sarana penggugur dosa”. Simaklah HR. Bukhari no. 5660 dan Muslim no. 2571: “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan sejenisnya, melainkan Allah akan mengugurkan bersamanya dosa-dosanya seperti pohon yang mengugurkan daun-daunnya”. Bahkan sakitnya pikiran atau terkena gangguan jiwa, ia “dibebaskan dari hukum dan aturan agama”. 
Sedangkan bagi orang yang mengidap penyakit hati, akan dianggap sebagai “sarana penyubur dosa”, dan “akan diminta pertanggung-jawaban di akhirat”. Allah Swt berfirman: “Di dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah menambah penyakit tersebut, dan mereka akan mendapatkan siksa yang pedih akibat apa yang mereka dustakan“. (QS. Al-Baqarah [2]:10). Orang yang terkena penyakit hati memang lebih cenderung melupakan akhirat, karena ia tidak mampu melihat keburukannya sendiri. 
Hati-hatilah dengan penyakit hati. Walaupun ia tidak merasakan hatinya berpenyakit, tetapi ia harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya, sebagai “orang yang bangkrut”. Siapakah orang yang bangkrut? Adalah orang yang hatinya dihinggapi berbagai penyakit sehingga perilakunya menjadi tidak terpuji. Perilaku buruk tersebut akan memusnahkan amal dan pahala kebajikan yang sebelumnya telah ia miliki, untuk diberikan kepada orang-orang yang terdzalimi, bahkan amal keburukannya bisa bertambah. 
Jadi, kalau di tahun ini Anda mengira sudah berhasil memecahkan record menunaikan ibadah shaum, melaksanakan Qiyamur Ramadan atau Shalat Tarawih dan shalat Subuh berjamaah di masjid, khatam Al-Qur’an, telah membayar zakat dan melaksanakan sholat Ied, Anda telah kembali menjadi orang yang fitri, ternyata Anda salah besar. Itu bukan jaminan, jika Anda masih senang memelihara penyakit hati. 
Apa yang Anda lakukan selama Ramadan, itu baru sebagian dari episode latihan untuk menempa kedisiplinan, kesabaran, kejujuran, dan sifat-sifat terpuji lainnya, yang hasilnya akan diimplementasikan dalam perilaku sehari-hari. Minimal, selama sebelas bulan ke depan, Anda mampu meninggalkan semua bentuk petualangan yang tidak bermanfaat, yang hanya mendatangkan dosa dan kehinaan. 
Akhirnya kita harus sadar bahwa dunia ini adalah episode kehidupan yang paling singkat. Tapi di dunia inilah merupakan fase yang paling menentukan sukses atau tidaknya hidup kita di episode berikutnya. Itulah esensi dari pentingnya memahami hukum yang berkaitan dengan ibadah Ramadan, agar kita dapat terhindar dari penyakit hati yang harus kita pertanggung-jawabkan di akhirat nanti. 
Hasil latihan selama Ramadan benar-benar harus mampu mengubah akhlak dan perilaku kita menjadi lebih terpuji. Bukan hanya untuk dijadikan tradisi, namun harus dipraktikkan dalam aktivitas sehari-hari, sehingga benar-benar akan mengantarkan kita menjadi orang yang bertakwa, sehat, sukses dan bahagia. Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan kepada kita semua. Aamiin YRA.
Bandung, 14 Juni 2016
Disarikan dari buku: 
Marhaban Ya Ramadan
Penulis: Muchtar A.F 
Penerbit: Nuansa Aulia, Bandung.

Kunjungi kami di: 
www.startc.co
www.muchtar-af.blogspot.com
FB & YouTube: Muchtar A.F



Tidak ada komentar:

Posting Komentar