MENCIPTAKAN BUDAYA KERJA DAN BUDAYA
ORGANISASI,
MEMAHAMI
MAKNA ETOS KERJA DAN PELAYAN PRIMA.
SIAPA YANG BERKEPENTINGAN DENGAN TRAINING INI?
FAKTA DI LAPANGAN:
TENTANG BUDAYA KERJA, TATA NILAI, DAN BUDAYA
ORGANISASI
1. Secara umum, kebiasaan
dan norma-norma yang ada dalam melakukan pekerjaan di berbagai organisasi belum
disadari sebagai budaya kerja. Padahal dalam banyak penelitian, keberhasilan
sebuah organisasi bukan hanya ditentukan oleh kehebatan implementasi dari prinsip-prinsip
manajemen seperti Planning, Organizing,
Actuating dan Controlling,
melainkan adanya faktor lain, yaitu “Budaya Kerja”, yang akan melandasi sikap
dan pribadinya dalam memberikan pelayanan menuju Service Excellence seperti Committed, Clean, Care, Respect, Team Work dan Innovation.
2. Pemahaman budaya menjadi kendala
manakala nilai-nilai yang ada tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan efektivitas organisasi. Misalnya, karyawan
yang baik, rajin, dan jujur sering dicibir sebagai orang yang sedang “cari muka”.
3. Di Asia, penerapan
budaya kerja dimulai setelah Jepang kalah perang, kemudian diikuti oleh Korea,
Taiwan, Malaysia, dan Indonesia. Namun di Indonesia dianggap belum berhasil,
karena:
a.
Sistem manajemen
kurang bergairah dalam menggali nilai-nilai budaya yang ada,
b.
Banyaknya organisasi
yang belum memiliki ciri khas budaya kerja,
c.
Belum berjalannya
sistem dan tata nilai budaya kerja organisasi/perusahaan,
d.
Belum maksimalnya
penggarapan secara khusus budaya kerja bagi karyawan,
e.
Belum dimilikinya assesment center yang berfungsi khusus
melakukan penilaian terhadap karyawan,
f.
Sebagian besar organisasi
sering terjebak pada pemahaman: yang
penting target tercapai bagaimanapun caranya.
4. Di berbagai
organisasi juga belum memiliki budaya organisasi
yang bisa membedakannya dengan organisasi lainnya. Belum memiliki bentuk
perilaku yang menjadi ciri khasnya. Kultur yang ada belum mencerminkan perilaku
kolektif yang menunjukkan kedisiplinan, kecakapan, keterampilan, dan
profesionalisme.
TENTANG EGO SEKTORAL
1. Di berbagai
organisasi ternyata masih banyak orang yang terjebak pada keangkuhan sektoral,
menganggap bahwa unit kerjanya lebih penting dan lebih strategis dibandingkan
dengan unit kerja yang lain.
2. Koordinasi dan sinergi ternyata masih menjadi barang langka. Ia
tenggelam oleh sikap merasa paling berjasa dan paling berperan di unit
kerjanya.
3. Ego
sektoral muncul akibat adanya kepentingan terhadap sesuatu (keuntungan
kelompoknya) karena mereka merasa sedang berada di atas angin.
4. Penyakit ego
sektoral menjadi semakin akut dari waktu ke waktu sehingga menghambat laju
percepatan kemajuan suatu organisasi.
TENTANG PELAYANAN
1. Masih terdengar
banyak keluhan terkait dengan pelayanan yang diberikan. Kualitas
pelayanan publik dinilai masih
rendah. Sulit diakses, prosedurnya
berbelit-belit, biaya tidak jelas, dan diduga masih sering terjadinya praktik
pungutan liar. Padahal, dengan otonomi daerah diharapkan, pemberian pelayanan
kepada masyarakat akan dapat terwujud secara lebih efektif dan efisien.
2. Di samping itu, terlihat kecenderungan
adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik. Kalaupun
sudah mampu memberikan pelayanan prima, namun masih terjebak dengan melihat
status orang yang dilayani. Masyarakat yang tergolong miskin akan sulit
mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki uang, dengan sangat mudah mendapatkan segala yang
diinginkan.
3. Apabila ketidakmerataan dan
ketidakadilan ini terus terjadi, maka
pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi berbahaya dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Peningkatan ekonomi menjadi lamban, dan pada tahapan
tertentu dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan.
4. Banyak contoh yang dapat
diidentifikasi, seperti pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi,
fasilitas sosial, dan pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah daerah.
Pelayanan tersebut belum memuaskan masyarakat, bahkan terkadang masih kalah
bersaing dengan pelayanan yang dikelola pihak swasta.
5. Kejadian ini lebih disebabkan karena
paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma
lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur kepemerintahan yang masih
menempatkan dirinya “masih senang dilayani, bukan untuk melayani.”
6. Di era demokratisasi dan
desentralisasi ini, seluruh perangkat birokrasi seharusnya menyadari bahwa
pelayanan berarti “semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi” dan keberhasilan dalam membangun, yang
dimanifestasikan ke dalam perilaku, seperti:
a.
Melayani,
bukan dilayani.
b.
Mendorong,
bukan menghambat.
c.
Mempermudah,
bukan mempersulit.
d.
Praktis
dan sederhana, bukan berbelit-belit.
e.
Terbuka
untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang.
7. Agar pelayanan publik dapat mencapai
kualitas yang baik, sudah sepatutnya pemerintah segera mereformasi paradigma
pelayanannya, dari yang semula ala kadarnya, menjadi pelayanan yang prima, sehingga kepercayaan publik kepada pemerintah semakin
meningkat.
MANFAAT APA YANG AKAN ANDA DAPATKAN?
Setelah
mengikuti training ini, peserta akan mendapatkan semangat baru dalam bekerja
menyongsong masa depan yang lebih baik:
1. Mampu mendobrak keangkuhan sektoral,
dengan meningkatkan etos kerja dan menjauhi ego sektoral. Meraih sukses perlu
kerja keras, cerdas dan ikhlas, serta memiliki semangat untuk
memperjuangkannya.
2. Dapat memahami makna etos kerja
profesional, bahwa bekerja adalah
ibadah, bekerja adalah amanah, bekerja adalah panggilan nurani, bekerja adalah
aktualisasi diri, dan bekerja adalah seni. Hanya orang-orang yang memiliki etos kerja profesional yang akan
mampu melambungkan karirnya dan mampu memproyeksikan masa depannya dengan baik.
3. Dapat menciptakan budaya kerja, tata
nilai (values) dan budaya organisasi
untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, mampu
mengubah perilaku buruk menjadi lebih baik, mampu meningkatkan citra dan
reputasi, dan mampu memberikan pelayanan prima.
4. Cepat beradaptasi dengan lingkungan
kerja, dapat menciptakan harmonisasi di tempat kerja, dan mampu mengubah inward looking menjadi outward looking.
5. Dapat mengimplementasikan berbagai
pengetahuan atau wawasan, yang kesemuanya akan dituangkan dalam Rencana Aksi (Action Plan). Gagal dalam membuat
rencana, berarti sudah merencanakan kegagalan sejak awal. Maka, penjelasan argumentatif sekalipun tidak akan cukup untuk memberikan
keyakinan bahwa kegiatan yang Anda jalani akan tercapai dengan baik, jika Anda tidak dapat menyajikan
Rencana Aksi dengan baik dan benar.
PELAKSANAAN:
Satu kali pertemuan, selama 5 jam.
(Teori, Praktik, Simulasi & Tanya Jawab)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar