Laman

Selasa, 25 November 2014

MENYUSUN RENCANA AKSI UNTUK APARATUR KEPEMERINTAHAN

MENDOBRAK EGO SEKTORAL, MENINGKATKAN CITRA DAN REPUTASI,
MENCIPTAKAN BUDAYA KERJA DAN BUDAYA ORGANISASI,
MEMAHAMI MAKNA ETOS KERJA DAN PELAYAN PRIMA.

SIAPA YANG BERKEPENTINGAN DENGAN TRAINING INI?

Siapapun Anda, apakah Anda seorang karyawan BUMN, BUMD, tenaga pengajar, karyawan swasta, aparatur kepemerintahan,  atau anggota dewan, yang ingin meningkatkan mutu pengetahuan dan kompetensi sesuai dengan profesinya, dan siap menerima tantangan baru untuk “mendobrak keangkuhan sektoral”. 


Juga bagi  Anda yang ingin memiliki kemampuan untuk melihat melampaui batas yang terlihat. Mampu menjadi inspirator yang berdampak pada meningkatnya produktivitas kerja, dapat  menumbuhkan motivasi serta komitmen untuk mendukung perubahan, dan mampu memberikan layanan prima, sehingga prestasi yang dihasilkan benar-benar merupakan cerminan dari dedikasi, kecakapan, kompetensi, dan kesungguhan.

FAKTA DI LAPANGAN:

TENTANG BUDAYA KERJA, TATA NILAI, DAN BUDAYA ORGANISASI
1.               Secara umum, kebiasaan dan norma-norma yang ada dalam melakukan pekerjaan di berbagai organisasi belum disadari sebagai budaya kerja. Padahal dalam banyak penelitian, keberhasilan sebuah organisasi bukan hanya ditentukan oleh kehebatan implementasi dari prinsip-prinsip manajemen seperti Planning, Organizing, Actuating dan Controlling, melainkan adanya faktor lain, yaitu “Budaya Kerja”, yang akan melandasi sikap dan pribadinya dalam memberikan pelayanan menuju Service Excellence seperti Committed, Clean, CareRespect, Team Work dan Innovation.
2.               Pemahaman budaya menjadi kendala manakala nilai-nilai yang ada tidak sejalan dengan nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Misalnya, karyawan yang baik, rajin, dan jujur sering dicibir sebagai orang yang sedang “cari muka”.
3.               Di Asia, penerapan budaya kerja dimulai setelah Jepang kalah perang, kemudian diikuti oleh Korea, Taiwan, Malaysia, dan Indonesia. Namun di Indonesia dianggap belum berhasil, karena:
a.            Sistem manajemen kurang bergairah dalam menggali nilai-nilai budaya yang ada,
b.            Banyaknya organisasi yang belum memiliki ciri khas budaya kerja,
c.             Belum berjalannya sistem dan tata nilai budaya kerja organisasi/perusahaan,
d.            Belum maksimalnya penggarapan secara khusus budaya kerja bagi karyawan,
e.            Belum dimilikinya assesment center yang berfungsi khusus melakukan penilaian terhadap karyawan,
f.              Sebagian besar organisasi sering terjebak pada pemahaman: yang penting target tercapai bagaimanapun caranya.
4.               Di berbagai organisasi juga belum memiliki budaya organisasi yang bisa membedakannya dengan organisasi lainnya. Belum memiliki bentuk perilaku yang menjadi ciri khasnya. Kultur yang ada belum mencerminkan perilaku kolektif yang menunjukkan kedisiplinan, kecakapan, keterampilan, dan profesionalisme.

TENTANG EGO SEKTORAL
1.               Di berbagai organisasi ternyata masih banyak orang yang terjebak pada keangkuhan sektoral, menganggap bahwa unit kerjanya lebih penting dan lebih strategis dibandingkan dengan unit kerja yang lain.
2.               Koordinasi dan sinergi ternyata masih menjadi barang langka. Ia tenggelam oleh sikap merasa paling berjasa dan paling berperan di unit kerjanya.
3.               Ego sektoral muncul akibat adanya kepentingan terhadap sesuatu (keuntungan kelompoknya) karena mereka merasa sedang berada di atas angin.
4.               Penyakit ego sektoral menjadi semakin akut dari waktu ke waktu sehingga menghambat laju percepatan kemajuan suatu organisasi.

TENTANG PELAYANAN
1.               Masih terdengar banyak keluhan terkait dengan pelayanan yang diberikan. Kualitas pelayanan publik  dinilai masih rendah.  Sulit diakses, prosedurnya berbelit-belit, biaya tidak jelas, dan diduga masih sering terjadinya praktik pungutan liar. Padahal, dengan otonomi daerah diharapkan, pemberian pelayanan kepada masyarakat akan dapat terwujud secara lebih efektif dan efisien.
2.               Di samping itu, terlihat kecenderungan adanya ketidakadilan dalam pelayanan publik. Kalaupun sudah mampu memberikan pelayanan prima, namun masih terjebak dengan melihat status orang yang dilayani. Masyarakat yang tergolong miskin akan sulit mendapatkan pelayanan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki uang,  dengan sangat mudah mendapatkan segala yang diinginkan.
3.               Apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus  terjadi, maka pelayanan yang berpihak ini akan memunculkan potensi berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peningkatan ekonomi menjadi lamban, dan pada tahapan tertentu dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan.
4.               Banyak contoh yang dapat diidentifikasi, seperti pelayanan bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, fasilitas sosial, dan pelayanan di bidang jasa yang dikelola pemerintah daerah. Pelayanan tersebut belum memuaskan masyarakat, bahkan terkadang masih kalah bersaing dengan pelayanan yang dikelola pihak swasta. 
5.               Kejadian ini lebih disebabkan karena paradigma pemerintahan yang masih belum mengalami perubahan mendasar. Paradigma lama tersebut ditandai dengan perilaku aparatur kepemerintahan yang masih menempatkan dirinya “masih senang  dilayani, bukan untuk melayani.” 
6.               Di era demokratisasi dan desentralisasi ini, seluruh perangkat birokrasi seharusnya menyadari bahwa pelayanan berarti  “semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi”  dan keberhasilan dalam membangun, yang dimanifestasikan ke dalam perilaku, seperti:
a.            Melayani, bukan dilayani. 
b.            Mendorong, bukan menghambat.
c.             Mempermudah, bukan mempersulit.
d.            Praktis dan sederhana, bukan berbelit-belit.
e.            Terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang.
7.               Agar pelayanan publik dapat mencapai kualitas yang baik, sudah sepatutnya pemerintah segera mereformasi paradigma pelayanannya, dari yang semula  ala kadarnya, menjadi pelayanan yang prima, sehingga kepercayaan publik kepada pemerintah semakin meningkat.

MANFAAT APA YANG AKAN ANDA DAPATKAN?
Setelah mengikuti training ini, peserta akan mendapatkan semangat baru dalam bekerja menyongsong masa depan yang lebih baik:             
1.               Mampu mendobrak keangkuhan sektoral, dengan meningkatkan etos kerja dan menjauhi ego sektoral. Meraih sukses perlu kerja keras, cerdas dan ikhlas, serta memiliki semangat untuk memperjuangkannya.
2.               Dapat memahami makna etos kerja profesional,  bahwa bekerja adalah ibadah, bekerja adalah amanah, bekerja adalah panggilan nurani, bekerja adalah aktualisasi diri, dan bekerja adalah seni. Hanya orang-orang yang memiliki etos kerja profesional yang akan mampu melambungkan karirnya dan mampu memproyeksikan masa depannya dengan baik.
3.               Dapat menciptakan budaya kerja, tata nilai (values) dan budaya organisasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, mampu mengubah perilaku buruk menjadi lebih baik, mampu meningkatkan citra dan reputasi, dan mampu memberikan pelayanan prima.
4.               Cepat beradaptasi dengan lingkungan kerja, dapat menciptakan harmonisasi di tempat kerja, dan mampu mengubah inward looking menjadi outward looking.
5.               Dapat mengimplementasikan berbagai pengetahuan atau wawasan, yang kesemuanya akan dituangkan dalam Rencana Aksi (Action Plan). Gagal dalam membuat rencana, berarti sudah merencanakan kegagalan sejak awal. Maka, penjelasan argumentatif sekalipun tidak akan cukup untuk memberikan keyakinan bahwa kegiatan yang Anda jalani akan tercapai dengan baik,  jika Anda tidak dapat menyajikan Rencana Aksi dengan baik dan benar.

PELAKSANAAN:
Satu kali pertemuan, selama 5 jam.
(Teori, Praktik, Simulasi & Tanya Jawab)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar